ANALISIS PERMASALAHAN BANJIR DAN PENERAPAN SOLUSINYA MELALUI PENDEKATAN NORMALISASI DAN NATURALISASI SUNGAI

 “ANALISIS PERMASALAHAN BANJIR DAN PENERAPAN SOLUSINYA MELALUI PENDEKATAN NORMALISASI DAN NATURALISASI SUNGAI”

Oleh : Nicholas Bayu Mahendra, Missa Divina Marthya Putri

2022. Institut Teknologi Bandung

1. Bencana Banjir dan Pembangunan Liar Masyarakat

            Banjir adalah keadaan dimana suatu daerah tergenang oleh air dalam jumlah yang besar dan dalam waktu yang relatif lama. Namun, dewasa ini sering terjadi miskonsepsi terkait banjir dengan genangan di tengah khalayak masyarakat Jakarta. Beberapa masyarakat kerap kali keliru dalam mengartikan banjir dan genangan. Untuk meluruskan konsep tersebut, ada beberapa perbedaan antara banjir dan genangan, yang paling mudah dilihat adalah durasi terjadinya. Banjir terjadi dengan durasi yang cukup lama, bisa menggenang hingga berhari-hari. Sedangkan genangan hanya terjadi dalam waktu yang relatif singkat, yaitu dalam hitungan jam. Hal kedua yang dapat dibedakan antara banjir dengan genangan adalah ketinggian air, di mana banjir bisa mencapai 1 meter, dan genangan hanya dalam satuan ukuran sentimeter. 



            Mengutip dari para ahli, banjir menurut Suripin (2003) adalah suatu kondisi ketika tidak tertampungnya lagi air dalam saluran pembuangan (palung sungai) atau terhambatnya aliran air di dalam saluran pembuang, sehingga meluap menggenangi daerah dataran banjir di sekitarnya. Sedangkan menurut Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002), banjir adalah aliran yang relatif tinggi dan tidak tertampung lagi oleh alur sungai atau saluran. 

Melihat dari beberapa pengertian tersebut, dapat dipahami secara jelas bahwa banjir memiliki kaitan erat dengan sungai. Keduanya memiliki hubungan timbal balik antara satu dengan yang lainnya. Pengaruh yang diberikan satu pihak dapat menimbulkan baik keuntungan maupun kerugian bagi pihak lainnya. Sebelumnya, dapat dimengerti terlebih dahulu bahwa sungai terdiri dari bagian hulu dan hilir, di mana hulu merupakan bagian sungai yang terletak pada pegunungan dan hilir adalah bagian sungai yang bermuara langsung ke laut. Ketika diberikan suatu perlakuan pada hulu sungai, hal tersebut akan berdampak langsung bagi hilir dan daerah-daerah sekitar hilir.

            Peningkatan kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal mengantar kita kepada isu pembangunan yang kian marak pada bagian sekitar hulu hingga hilir sungai. Hal tersebut merupakan salah satu contoh yang perlu diberikan perhatian lebih lanjut terkait hubungannya dengan sungai dan banjir itu sendiri. Pembangunan di sekitar bantaran sungai merupakan hal yang lumrah terjadi terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan dibutuhkan kajian lebih lanjut untuk diatasi. Akar permasalahan ini adalah pertumbuhan penduduk yang belum bisa berada pada status stabil. Pertumbuhan penduduk yang kian meningkat mengakibatkan permintaan yang meningkat pula dari banyak sektor, terutama tempat tinggal. Hal tersebut kemudian mengantar kita kepada fakta bahwa banyak masyarakat yang kemudian memilih shortcut untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggalnya dengan membangun rumah di bantaran sungai. 

            Pembangunan ini adalah isu lama yang masih cukup menjadi misteri untuk dirampungkan. Seakan-akan tidak ada habisnya, isu ini kerap menimbulkan berbagai permasalahan lingkungan, dan yang paling sering timbul adalah banjir. Isu ini bagai sebuah bumerang bagi pemerintah di mana isu ini merupakan penyebab masalah sekaligus pembuat masalah baru di mana pemerintah menjadi sulit dalam mengatasi pembangunan liar ini dalam rangka mengatasi banjir. Hal ini diperparah juga karena biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan isu ini yaitu relokasi tidak sedikit dan cenderung tinggi.

2. Riwayat Banjir di Kota Jakarta

Berbicara mengenai banjir, Jakarta sebagai ibukota Negara Indonesia telah lama dikenal sebagai kota langganan banjir. Tiap tahunnya selalu ada pemberitaan mengenai banjir yang di Kota Jakarta. Meskipun pemberitaan mengenai penanganan bencana banjir yang ada di Kota Jakarta oleh pemerintah juga tak henti-hentinya bermunculan, bencana ini masih saja terus melanda Kota Jakarta. Menurut Edi Sedyawati, dkk dalam Sejarah Kota Jakarta (1950-1980) (1986), penyebab utama lain Jakarta selalu tergenang banjir adalah karena kondisi lingkungan Jakarta yang dialiri 10 sungai besar dengan sistem drainase yang kurang memadai. Zaenuddin HM dalam “Banjir Jakarta” (2013), menuliskan jika banjir di Jakarta sudah ada sejak zaman Tarumanegara, tepatnya saat Raja Purnawarman memimpin kerajaan tersebut pada abad ke-5. 


Sejak zaman penjajahan Belanda, di saat Kota Jakarta masih bernama Batavia, banjir telah berkali-kali melanda kota ini dalam jangka waktu yang lama. Sejarah mencatat, selama pendudukan Belanda di Indonesia, banjir telah terjadi pada tahun 1621, 1654, 1872, 1893, 1909, dan 1918. Melihat dari kondisi geografisnya pada saat itu, sebagian besar daerah Batavia masih berupa rawa dan hutan liar. Hal ini menyebabkan Batavia sering tergenang banjir akibat luapan sungai-sungai yang ada di sekitar Jakarta terutama Sungai Ciliwung. 

Di era kemerdekaan sampai masa sekarang ini, bencana banjir masih sering melanda dan bahkan mengalami peningkatan kasus yang sangat signifikan. Pada era ini, banjir semakin sering terjadi; banjir besar terjadi pada 1996, 2002, 2007, dan 2013. Pembangunan yang marak terjadi, penurunan daerah resapan serta daerah permukiman di daerah bantaran sungai menjadi faktor utama meningkatnya kasus bencana banjir di ibukota. 

Bukannya diam dan acuh tak acuh terhadap permasalahan utama bencana kota ini, pemerintah–bahkan sejak zaman pemerintahan VOC dan Belanda–sudah sering menunjukkan usahanya dalam mengatasi permasalahan ini. Pada masa VOC, dibuatlah kanal di dalam wilayah kota sebagai hasil pelurusan sungai yang melintasi daerah ini. Hal ini agaknya menjadi sumber masalah baru karena terjadi sedimentasi wilayah kanal dan aliran air dari kanal yang sering meluap ke daerah permukiman. Karena kondisi geografis dan sistem drainase yang–sudah sejak dahulu–buruk ini, banjir patutlah menjadi bencana utama yang sering melanda Kota Jakarta. Sedangkan di era-era selanjutnya, usaha yang sering dilakukan hanyalah penambahan jumlah kanal dan pengerukan sungai. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi baru bagi permasalahan ini agar banjir di Kota Jakarta tidak semakin parah dan akhirnya dapat hilang dari kota ini.

3. Daerah Rawan Banjir dan Bantaran Kumuh di Kota Jakarta

Berbicara mengenai daerah rawan banjir dan bantaran kumuh di Jakarta, tak sulit bagi pemerintah maupun lembaga kemasyarakatan untuk memetakan daerah-daerah ini. Di kelima wilayah Jakarta: Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, dan Jakarta Timur, dapat dengan mudah kita jumpai daerah rawan banjir maupun kawasan permukiman kumuh di sekitar sungai-sungai di Kota Jakarta. Berdasarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah atau BPBD DKI Jakarta, terdapat 82 kelurahan yang menjadi daerah rawan banjir di saat musim hujan. Kepala BPBD DKI Jakarta, Subejo, mengatakan bahwa wilayah rawan banjir ditetapkan berdasarkan analisis setidaknya dalam periode tiga tahun terakhir (data diambil pada tahun 2019). Ada tiga indikator yang dijadikan dasar penentuan titik rawan banjir. Pertama, ketinggian air mencapai atau lebih dari 100 cm. Kedua, durasi banjir lebih dari 24 jam. Terakhir, banjir mengharuskan warga mengungsi ke tempat yang lebih aman.

Kota/wilayah yang memiliki daerah rawan banjir terbanyak adalah Jakarta Selatan, kemudian Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan terakhir Jakarta Pusat. Di wilayah Jakarta Selatan sendiri, terdapat 25 kelurahan yang rawan banjir di antaranya Cilandak Barat, Lebak Bulus, Pondok Labu, Cipete Utara, Petogogan. Kemudian Cipulir, Kebayoran Lama Utara, Pondok Pinang, Bangka, dan Kuningan Barat. Di wilayah Jakarta Timur, terdapat kelurahan Cakung Timur, Pulo Gebang, Rawa Terate, Cibubur, Kelapa Dua Wetan, Rambutan, Pondok Bambu, Bidara Cina. Wilayah Jakarta Barat adalah Kelurahan Cengkareng Barat, Cengkareng Timur, Duri Kosambi, Kapuk, Kedaung Kali Angke, Rawa Buaya, Jelambar Baru, Wijaya Kesuma. Di wilayah Jakarta Utara ada kelurahan Cilincing, Marunda, Semper Barat, Semper Timur, Suka Pura, Kelapa Gading Timur, Pegangsaan Dua, Tugu Selatan, Pademangan Barat, Kamal Muara. Sedangkan yang terakhir, wilayah yang paling sedikit memiliki daerah rawan banjir adalah Jakarta Pusat dengan hanya 2 kelurahan saja yaitu Kelurahan Karet Tengah dan Petamburan.



Seperti yang sudah dibahas pada paragraf sebelumnya, fakta mengenai pertambahan penduduk kemudian memperparah kondisi Jakarta dan malahan hal inilah yang sebenarnya menjadi penyebab sering terjadinya bencana banjir ini di daerah ibukota Jakarta. Penduduk yang kemudian melakukan pembangunan kawasan permukiman ilegal di daerah bantaran sungai ini lantas menjadi sumber masalah baru yang lagi-lagi menimbulkan banyak permasalahan. Hal ini dikarenakan oleh ketidaktahuan mengenai daerah sungai, sehingga teerdapat beberapa masyarakat yang mengalami musibah dikarenakan membangun pemukiman di dalam sungai ketika surut, dan mengalami banjir ketika debit air sungai sedang tinggi. Daerah bantaran yang paling sering disorot adalah daerah kawasan bantaran Sungai Ciliwung. Daerah ini meliputi beberapa kelurahan seperti Kelurahan Cililitan, Cawang, Kampung Melayu, Duri Pulo, Menteng Pulo, Manggarai, Tebet, Kenari, dan Senen. Memang, diperlukan solusi yang tepat dan efektif dalam menangani kawasan permukiman kumuh ini agar permasalahan mengenai banjir dapat terselesaikan dengan memperhatikan etika terhadap warga masyarakat di wilayah bantaran kumuh ini.

4. Faktor-Faktor Banjir di Kota Jakarta

              Secara geomorfologi, wilayah bertumpunya Kota Jakarta ialah dataran rendah yang terbentuk dari hasil proses sedimentasi dari material vulkanis hasil erupsi gunung-gunung yang berada pada bagian Banten Selatan hingga Periangan Timur seperti Gunung Api Salak, Pangrango, dan Gede. Material vulkanis ini ditransportasikan oleh arus sungai seperti Cisadane, Angke, Ciliwung, dan Bekasi yang bermuara di pantai utara Jawa, kemudian mengendap dan membentuk geomorfologi berupa kipas aluvial. Hal ini  membuktikan bahwa daerah kota Jakarta cenderung berada dalam Kawasan dataran rendah hasil endapan aktivitas fluvial yang terdiri dari material sedimen aluvium. Dikarenakan wilayah kota Jakarta yang merupakan dataran rendah dan berhubungan langsung dengan Laut Jawa. Beberapa sungai besar yang melalui wilayah ini menjadi ancaman pemicu banjir. Pada kenyataannya, masih terdapat beberapa faktor lain yang menjadi pemicu terjadinya banjir seperti curah hujan, gradien sungai, pengaruh pasang surut dan proses pendangkalan sungai yang disebabkan oleh sedimentasi pada bagian hilir sungai.        



Berdasarkan riset yang telah dilakukan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional, terdapat pernyataan yang menyatakan bahwa Kota Jakarta akan mengalami penenggelaman dalam beberapa tahun kedepan. Hal ini masih berkaitan dengan banjir, namun juga mempunyai keterkaitan dengan stratigrafi dan sistem hidrologi pada Kota Jakarta. Hal ini bisa dilihat dari wilayah Jakarta yang merupakan dataran rendah, namun memiliki banyak penduduk. Sehingga terdapat kelangkaan kebutuhan berupa air yang mengakibatkan eksploitasi air tanah secara berlebihan. Dikarenakan pengambilan air tanah secara berlebihan, maka terdapat ruang kosong yang tidak terisi air pada bagian bawah kota Jakarta, sehingga terjadi fenomena Bernama subsidensi permukaan tanah yang mengakibatkan Kota Jakarta mengalami banjir yang cenderung meningkat setiap tahunnya, dan sebagai dampak akhir ialah tenggelamnya Kota Jakarta.

            Faktanya masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya banjir selain kondisi geomorfologi dan stratigrafi Kota Jakarta yang merupakan daerah dataran rendah dengan kebutuhan air yang tinggi dikarenakan kependudukan yang padat, yaitu faktor meteorologi berupa sebaran curah hujan. Pada umumnya Kota Jakarta mengalami puncak curah hujan pada Bulan Oktober – April, hal ini dikarenakan posisi Kota Jakarta berada pada wilayah yang mengalami pola curah hujan monsunal yang berarti curah hujan dipengaruhi oleh pergerakan angin muson barat (musim penghujan) dan muson timur (musim kemarau). Selain itu juga terdapat faktor dari pemanasan global, DKAT (Daerah Konvergensi Antar Tropis), dan faktor oseanografi berupa pasang surut.

5. Naturalisasi dan Normalisasi

            Ketika berbicara terkait banjir dan cara mengatasinya, kita dihadapkan dengan dua konsep ini, naturalisasi dan normalisasi. Keduanya memiliki konsep utama yang mirip, yaitu membuat suatu sungai memiliki kapasitas tampungan debit air yang lebih banyak dari sebelumnya sehingga suatu ketika debit air dari hulu mengalir lebih banyak, debit air tersebut masih dapat ditampung dan diserap dengan baik. Namun, perbedaan keduanya tampak dari cara penanganannya. 

Normalisasi, seperti dengan pengertian konkritnya, lebih menekankan pada mengembalikan fungsi utama sungai seperti sedia kala, meskipun dalam praktiknya, masih banyak kekeliruan dari Pemerintahan Kota Jakarta. Terutama dalam penerapan normalisasi sendiri. Normalisasi sungai seharusnya adalah membentuk kembali sungai seperti bentuk awalnya, dengan kekhasan berkeloknya sungai. Bentuk berkelok dari sungai tersebut memiliki keuntungan dalam menghadapi kiriman debit air yang tinggi, air yang turun akan menabrak dinding-dinding sungai yang meliuk tersebut sehingga lajunya pun menurun. Akan tetapi, karena ketersediaan lahan yang terbatas, normalisasi dilakukan dengan membuat tebing sungai tegak, membeton dinding sungai, dan membuatnya menjadi lurus sehingga menjadikan laju air yang turun lebih cepat. 

            Konsep kedua dalam mengatasi banjir ini adalah naturalisasi. Naturalisasi sendiri memiliki tujuan utama penataan bantaran sungai menjadi lingkungan yang lebih ramah dengan membuat ruang terbuka hijau (RTH) di bantarannya. Konsep naturalisasi ini sangat mungkin diimplementasikan pada daerah yang masih memiliki ketersediaan lahan yang luas di tepi sungainya. Dengan pembukaan ruang terbuka hijau di bantaran sungai, diharapkan ketika volume air yang turun meningkat, air tersebut dapat terserap terlebih dahulu pada ruang terbuka hijau tersebut.



            Dapat dipahami dari kedua konsep ini, dibandingkan dengan normalisasi, jelas diketahui bahwa naturalisasi cukup sulit untuk direalisasikan di Ibukota Jakarta. Fakta bahwa diperlukannya pembebasan lahan yang besar dalam mengimplementasikan konsep ini membuat naturalisasi menjadi pilihan yang possible tetapi cukup sulit untuk direalisasikan. Kedua pilihan ini mengantar kita pada konsep terakhir dan yang paling masuk akal dalam mengatasi masalah banjir ini. Diketahui jelas bahwa kedua konsep naturalisasi dan normalisasi ini tidak dapat dipisahkan dan akan menjadi maksimal bila direalisasikan secara bersamaan. Dalam mengatasi masalah banjir ini, dapat dipertimbangkan untuk menerapkan gabungan dari kedua konsep ini di bagian sungai yang berbeda. Konsep naturalisasi sungai dapat direalisasikan pada bagian hulu sungai di mana pada bagian hulu tersebut masih banyak lahan yang bisa dimanfaatkan untuk menjadi ruang terbuka hijau dan pembebasan lahan pun masih sangat mungkin untuk dilakukan.  Kemudian, pada bagian hilirnya dapat diterapkan konsep normalisasi dengan tujuan menampung debit air yang turun. Pemilihan diterapkannya normalisasi di bagian hilir sungai ini meninjau beberapa fakta bahwa kurangnya lahan yang ada akibat pembangunan liar sehingga pembebasan lahan pun sulit dilakukan karena anggaran yang dibutuhkan pun sangat besar. 

            Ketika kedua konsep ini digabungkan, output yang diharapkan adalah debit air yang turun dapat ditampung sebelumnya di bagian hulu dan diserap oleh ruang terbuka hijau yang ada sebelum dialirkan ke bagian hilir. Dan akibat normalisasi sungai pada bagian hilir, ketika kiriman debit air tersebut turun, aliran tersebut dapat diperlambat dengan bentuk sungai yang berkelok dan sungai masih dapat menampung debit air tersebut karena telah dilakukan pendalaman sungai. 

6. Analisis Rencana yang Diambil

            Tak hanya Indonesia, negara lain termasuk negara-negara maju pun tentunya memiliki atau pernah memiliki masalah yang sama mengenai bencana banjir. Perbedaannya adalah negara-negara maju tersebut telah mempersiapkannya dengan menerapkan beberapa metode dalam sistem perairan dan drainase yang ada di dalam kota-kota pada negara tersebut. Hal inilah yang menyebabkan bencana banjir dapat terminimalisir secara maksimal dan kemudian akan mencegah bencana banjir terjadi lagi di kemudian hari. Beberapa negara berikut memiliki sistem drainase yang baik dalam mengatasi bencana banjir, contohnya G-Cans di Jepang dan Maeslantkering di Rotterdam.

            Jepang merupakan negara yang memiliki reputasi yang sangat baik dalam menanggulangi bencana yang terjadi. Contohnya adalah bencana banjir yang juga menjadi permasalahan di negara ini. Badai yang terjadi di Tokyo menyebabkan banjir dan keadaan geografis kota Tokyo mengakibatkan kota ini menjadi korban dari badai tersebut. Selain itu, curah hujan yang tinggi di Kota Tokyo dan rendahnya beberapa bagian kota dibandingkan dengan sungai mengakibatkan banjir ini terjadi di kala curah hujan atau badai yang tinggi. Dalam mengatasi masalah banjir ini, Jepang memulai pembangunan sistem drainase raksasa di bawah kotanya. Pembangunan ini memakan waktu dari tahun 1992 hingga awal 2009 yang menghabiskan dana hingga 27 triliun rupiah. 

            Sistem drainase ini memiliki 5 pilar raksasa berukuran tinggi 65 meter dan diameter 32 meter yang menjadi saluran utama aliran air menuju terowongan air. Di bagian bawahnya terdapat terowongan air yang memiliki panjang 6,3 kilometer dan lebar 10 meter untuk menyalurkan air dari pilar-pilar raksasa tersebut. Kemudian terdapat pula tangki yang disebut Underground Temple yang memiliki tinggi 25,4 meter dan panjangnya 177 meter yang berfungsi untuk menampung air dari terowongan air. Ketika kapasitas air penuh, Underground Temple ini akan mengalirkan ke hilir Sungai Edogawa menuju Teluk Tokyo.

            Negara Belanda menjadi salah satu negara yang memiliki daerah rawan banjir terbanyak di dunia. Hal ini disebabkan kondisi geografis negara Belanda yang 26%  wilayahnya memiliki ketinggian yang lebih rendah daripada permukaan laut. Dikutip dari The Guardian, 60 % wilayah negara Belanda adalah wilayah yang rawan banjir. Sejak zaman dahulu, negara Belanda telah berusaha menangani permasalahan ini salah satunya contohnya adalah dengan memanfaatkan teknologi kincir anginnya untuk memompa kelebihan air untuk mengeringkan areal persawahan. Pencegahan lain yang dilakukan adalah dengan merancang taman dan area publik di kota-kota sebagai waduk darurat ketika air membanjiri kota. Di era modern ini, kesiapan negara Belanda dalam menghadapi permasalahan banjir pun semakin meningkat. Pada tahun 1997, Belanda membangun penahan badai dari lautan yang dinamakan “Maeslantkering”. Gerbang besi besar dibangun di muka sungai Niuewe Maas yang menjadi jalur masuk ke pelabuhan Rotterdam dan digunakan untuk menutup muara sungai. Gerbang besi inilah yang digunakan untuk menahan badai dari laut seperti yang dilaporkan pada CBS News.

Selain menilik beberapa metode yang telah diterapkan di beberapa negara maju tersebut, kita juga dapat mencari tahu metode terbaik dengan mempertimbangkan metode-metode dasar yang telah ada. Berdasarkan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sumber Daya Air dan Konstruksi, metode dasar penanganan banjir dibagi menjadi 2, yaitu metode struktur dan metode non-struktur. Metode Struktur terdiri atas pembangunan bangunan pengendali banjir dan perencanaan sistem perbaikan dan pengaturan sungai. Beberapa contoh bangunan pengendali banjir adalah bendungan/waduk (dam), kolam retensi, pembuatan check dam, pembuatan polder, Groundsill, dan bangunan pengurang kemiringan sungai. Sedangkan sistem perbaikan dan pengaturan sungai terdiri dari River improvement (perbaikan/peningkatan sungai), pembuatan tanggul, sudetan, floodway, dan sistem drainase khusus. Selain metode struktur, dapat dilakukan pula metode non-struktur seperti pengaturan tata guna lahan, pengendalian erosi, pengembangan dan pengaturan daerah banjir/genangan, dan penyuluhan pada masyarakat.

Berbagai metode yang telah dijabarkan di atas memiliki suatu prinsip utama dalam kegiatan pengendalian banjir yang diantaranya adalah kegiatan yang meliputi aktivitas mengenali besarnya debit banjir, mengenali besarnya debit banjir, mengisolasi daerah genangan banjir, dan mengurangi tinggi elevasi air banjir. Ketiga aktivitas yang dilakukan ini mengacu pada beberapa prinsip utama penanggulangan banjir yang memiliki tujuan untuk menurunkan dan memperlambat debit banjir di hulu, mengalirkan debit banjir ke laut secepat mungkin dengan kapasitas yang memadai di bagian hilir, memperbesar dimensi tampang sungai, dan pengendalian transpor sedimen.

Melihat dari beberapa metode dan contoh penerapan sistem penanggulangan dalam mengatasi masalah banjir ini dan meninjau pula kondisi geografis dan sosial Ibukota Jakarta serta dengan mempertimbangkan nilai etika sebagai seorang rekayasawan, tindakan yang paling tepat untuk diambil adalah dengan tetap melakukan normalisasi daerah bantaran sungai, salah satunya dengan menggusur daerah permukiman yang ada. Fakta yang dapat dilihat adalah bahwa permukiman tersebut adalah permukiman yang ilegal sehingga bila ditinjau dari segi hukum, penggusuran ini adalah suatu tindakan yang sah dan legal. Namun, jika ditinjau lebih dalam lagi mengenai nilai-nilai etika yang ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, penggusuran ini harus sesuai dengan langkah-langkah yang tepat dengan tidak melanggar hak asasi manusia. Meninjau dari keefektifan berbagai metode yang telah dipaparkan sebelumnya dan kondisi geografis serta sosial Ibukota Jakarta, dalam mengatasi permasalahan banjir ini, tindakan normalisasi dengan melakukan penggusuran dalam rangka penerapan pengendalian banjir metode struktur yaitu river improvement, solusi ini adalah yang paling tepat dan sesuai mengingat keterbatasannya lahan yang ada di Ibukota ini. Pembebasan lahan permukiman warga ini dapat mengantar kita untuk memperoleh berbagai kesempatan lain bagi kita untuk melakukan berbagai tindakan dalam rangka menanggulangi permasalahan banjir ini. Dengan melakukan pembebasan lahan ini, pemerintah dapat dengan mudah melakukan peningkatan dalam struktural maupun non-struktural dalam mengatasi masalah banjir ini. Contohnya adalah dengan melakukan perubahan struktur pada sungai untuk meningkatkan volume air yang dapat ditampung, pencegahan sedimentasi, serta menurunkan kecepatan aliran air yang turun, dan dengan ini, memberikan kontribusi besar dalam menyelesaikan permasalahan banjir di Ibukota.

Permasalahan banjir di Ibukota merupakan masalah turun temurun yang memerlukan waktu lama dalam menyelesaikannya apabila metode yang dipilih kurang tepat. Maka dari itu, kita harus melihat dan meninjau masalah ini dari sumbernya pada hulu dan hilirnya. Ada salah satu opsi untuk meminimalisasi penggusuran daerah kumuh di sekitar bantaran sungai, yaitu dengan mempertimbangkan bagian hulu dari sungai tersebut. Deforestasi, pengalihfungsian lahan serapan, dan hilangnya kemampuan tanah untuk menyerap air sebagai akibat dari penggundulan hutan merupakan beberapa contoh penyebab banjir yang berasal dari hulu. Maka dari itu, pada bagian hulu dapat diterapkan metode naturalisasi dengan melakukan reboisasi di sekitar bantaran hulu sungai dengan tujuan utama untuk memperluas area penyerapan air. Proses naturalisasi pada bagian hulu ini secara tidak langsung juga akan mengurangi kuantitas debit air yang turun ke hilir sehingga dapat meminimalisasi salah satu penyebab terjadinya banjir di Ibukota Jakarta.

Namun, debit banjir yang telah dikurangi atau dikendalikan di hulu masih cukup besar saat mencapai hilir. Maka dari itu, diperlukan peningkatan kapasitas alir sungai dan perpanjangan waktu debit sampai pada ke hilir dengan menerapkan normalisasi di daerah hilir tersebut. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, di sepanjang daerah hilir di Kota Jakarta banyak ditemukan permukiman di sekitar bantaran sungai. Di sinilah naturalisasi dan normalisasi dapat dikerjakan secara bersamaan. Pada saat aliran normal, air akan mengalir hanya di penampang sungai utama. Sedangkan pada saat banjir, air akan dapat mengalir di sungai utama, bantaran sungai, serta di dataran banjir.

Melihat banyaknya keuntungan yang diperoleh dengan menerapkan metode pembebasan lahan di daerah bantaran sungai ini, metode ini memanglah yang paling tepat dan paling mungkin untuk diambil. Maka dari itu, diperlukan solusi lain untuk mengatasi permasalahan terkait masyarakat yang direlokasi. Solusi yang paling logis untuk dilakukan meninjau nilai etika adalah menyiapkan tempat tinggal baru bagi masyarakat yang terdampak ini. Kita bersama pemerintah harus dapat berkoordinasi dengan baik dalam menanggulangi masyarakat yang terdampak relokasi ini. Selain itu, dengan mempertimbangkan hak asasi manusia, kita juga harus merumuskan langkah-langkah yang tepat dalam melakukan proses penggusuran ini. Langkah pertama yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan penyuluhan bagi masyarakat sekitar terkait pentingnya daerah bantaran sungai dalam mengatasi permasalahan banjir yang terjadi. Kemudian pemerintah juga dapat memberikan pemberitahuan terlebih dahulu terkait rencana penggusuran dan bahwa akan ada rencana relokasi yang menyediakan tempat tinggal baru bagi masyarakat yang terdampak. Proses-proses penyuluhan dan pemberitahuan bagi warga yang terdampak ini merupakan salah satu penerapan pengendalian banjir melalui metode nonstruktural. Sehingga proses ini merupakan suatu kewajiban yang memang harus dilakukan dalam keseluruhan proses penanganan bencana banjir di Ibukota Jakarta. 

Selain permasalahan geografis, sosial, dan etika, ada satu aspek yang sangat penting dan berpengaruh signifikan bagi keberlangsungan dan kelancaran proses penanganan bencana banjir ini, yaitu biaya dan anggaran. Perlu dilakukan kerjasama yang maksimal antara pemerintah dan rekayasawan dalam merumuskan anggaran bagi proses penanganan dan tindak lanjut dari masalah ini. Perumusan anggaran ini harus mempertimbangkan dari banyak aspek karena seperti yang kita ketahui, proses penanganan dan tindak lanjut ini memiliki biaya yang tidak sedikit dan cenderung membengkak, ditinjau dari banyaknya daerah rawan banjir di Ibukota Jakarta. Lebih jauh dari itu, diperlukan juga perencanaan dan perumusan yang lebih lanjut dalam proses pemeliharaan berbagai metode struktural dan nonstruktural yang diambil. Contohnya adalah perawatan struktur baru sungai hasil normalisasi. Tak kalah penting dari itu, penyuluhan masyarakat juga perlu menjadi fokus pemerintah kedepannya agar masalah yang sama tidak akan terulang kembali di masa yang akan datang. Oleh karena itu, segala perumusan dan perencanaan ini harus dirancang secara matang oleh pemerintah dan rekayasawan sehingga pelaksanaannya menjadi maksimal dan efektif sehingga kedepannya permasalahan yang menjadi momok bagi pemerintah maupun warga Jakarta dan juga rekayasawan akan sepenuhnya tuntas dan tidak akan muncul lagi di masa yang akan datang. 

7. Simpulan

            Pada akhirnya, memang diperlukan sebuah sistem drainase yang kompleks untuk mengatasi permasalahan banjir ini mengingat betapa parahnya dampak yang ditimbulkan. Akan tetapi, dalam waktu dekat ini, hal tersebut belum bisa dapat terealisasikan mengingat fakta padatnya Ibukota Jakarta dan kondisi geografis tanah Ibukota sendiri yaitu rawa-rawa yang sangat rawan terjadinya penurunan muka tanah. Maka dari itu, langkah yang paling tepat untuk membantu menyelesaikan permasalahan ini adalah dengan melakukan penggusuran bagi masyarakat yang tinggal di permukiman sekitar bantaran sungai dan merelokasikan mereka ke bangunan tempat tinggal yang lebih layak. Hal ini tentunya dapat terjadi dengan mempertimbangkan dan tidak melupakan pentingnya etika sebagai rekayasawan dalam kehidupan bermasyarakat karena kita ketahui bersama bahwa setiap manusia memiliki hak asasi manusia yang salah satunya adalah untuk mengatur kepemilikan tempat tinggal. Dengan demikian, kita dapat menciptakan dunia sebagai tempat tinggal yang lebih baik jika kita sebagai rekayasawan dapat mengikutsertakan etika dalam proses pembangunan demi terwujudnya kehidupan bermasyarakat yang sejahtera.





DAFTAR PUSTAKA

 

Adminpu. (2022, February 18). Metode Pengendalian Banjir - dpu.kulonprogokab.go.idA. Retrieved February 21, 2022, from https://dpu.kulonprogokab.go.id/detil/663/metode-pengendalian-banjir

Alfairus, W. (2018, October 11). Kehidupan Sehari-Hari di Bantaran Kali. Balairungpress. Retrieved February 21, 2022, from https://www.balairungpress.com/2018/10/kehidupan-sehari-hari-di-bantaran-kali/

Bammelen, R.W van. 1949. The Geology of Indonesia. The Hague: Martinus Nijhoff.

Defianti, I. (2020, December 8). BPBD DKI: 82 Kelurahan di Jakarta rawan banjir, Ini Daftarnya. liputan6.com. Retrieved February 20, 2022, from https://www.liputan6.com/news/read/4428461/bpbd-dki-82-kelurahan-di-jakarta-rawan-banjir-ini-daftarnya#:~:text=Berikut%20data%20kelurahan%20di%20Jakarta%20yang%20rawan%20banjir%3A,Kalibata%2C%20Pengadegan.%20Selanjutnya%20Rawajati%2C%20Cilandak%20Timur%2C%20Jati%20

Fitriani, F. F. (2019, November 14). 25 wilayah di DKI Jakarta rawan banjir, Ini Lokasinya!: Jakarta bisnis.com. Bisnis.com. Retrieved February 21, 2022, from https://jakarta.bisnis.com/read/20191114/77/1170425/25-wilayah-di-dki-jakarta-rawan-banjir-ini-lokasinya

Hutasoit, L. (2021, February 22). Sejarah Banjir Jakarta, Sudah Ada sejak Gubernur Voc Memerintah. IDN Times. Retrieved February 20, 2022, from https://www.idntimes.com/news/indonesia/lia-hutasoit-1/sejarah-banjir-jakarta-sudah-ada-sejak-gubernur-voc-memerintah

Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Balai Pustaka.

Kehutanan, K. L. H. dan. (2020, January 9). Normalisasi vs Naturalisasi Dalam penanganan banjir Jakarta menurut Balitek Das-BLI KLHK. Normalisasi vs Naturalisasi dalam Penanganan Banjir Jakarta Menurut Balitek DAS-BLI KLHK - Kementerian LHK. Retrieved February 21, 2022, from https://www.menlhk.go.id/site/single_post/2651/normalisasi-vs-naturalisasi-dalam-penanganan-banjir-jakarta-menurut-balitek-das-bli-klhk

Nailufar, N. N. (2021, February 22). Sejarah Banjir Jakarta dari zaman tarumanegara hingga hindia Belanda Halaman all. KOMPAS.com. Retrieved February 21, 2022, from https://www.kompas.com/skola/read/2021/02/22/084300069/sejarah-banjir-jakarta-dari-zaman-tarumanegara-hingga-hindia-belanda?page=all

Rahardyan, A. (2020, January 10). Naturalisasi vs Normalisasi Sungai, Perbandingan Kelebihan Dan Kekurangannya: Jakarta bisnis.com. Bisnis.com. Retrieved February 20, 2022, from https://jakarta.bisnis.com/read/20200110/77/1188943/naturalisasi-vs-normalisasi-sungai-perbandingan-kelebihan-dan-kekurangannya

Ravanelli, D. M. (2020). Analisis Penerapan Etika Pengambilan Keputusan Publik Dalam kebijakan Penertiban Kawasan kalijodo tahun 2016. JIAP (Jurnal Ilmu Administrasi Publik). Retrieved February 21, 2022, from https://journal.ummat.ac.id/index.php/JIAP/article/view/1518

Sandy, I Made. 1986. Republik Indonesia Geografi Regional. Jakarta: Puri Megarsari

Septalisma, B. (2020, January 11). Mengintip Cara Unik Kota-Kota Dunia atasi banjir. teknologi. Retrieved February 21, 2022, from https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20200111123116-199-464405/mengintip-cara-unik-kota-kota-dunia-atasi-banjir

Siswadhi. (2019, February 27). Sejarah Banjir di Jakarta, Sudah Terjadi sejak Zaman Tarumanegara - Semua Halaman. National Geographic. Retrieved February 21, 2022, from https://nationalgeographic.grid.id/read/131649357/sejarah-banjir-di-jakarta-sudah-terjadi-sejak-zaman-tarumanegara?page=all

Thanti, O. (2021, September 15). Sejarah Menunjukkan Penanganan Banjir di Jakarta Selalu Bergantung Pada solusi infrastruktur, Dan Banjir Terus Hadir. The Conversation. Retrieved February 21, 2022, from https://theconversation.com/sejarah-menunjukkan-penanganan-banjir-di-jakarta-selalu-bergantung-pada-solusi-infrastruktur-dan-banjir-terus-hadir-156300

Turkandi, T, dkk. 1992. Geologi Lembar Jakarta dan Kepulauan Seribu, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Verstappen, H.Th. 1953. “Djakarta Bay: A Geomorphological Study on Shore line Developmennt” S-Gravenhage: Drukkerij Trio.

 

Verstappen, H.Th. 1983. Applied Geomorphology, Geomorphological Surveys for Environmental Development, Elsivier, Amsterdam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dwika Alam Indrajati: Peran Mahasiswa dalam Gejolak Isu Sosial Politik di Indonesia

Bumi Semakin Panas